Rabu, 26 Januari 2011

Bali

Posted by yantobolot 11.03, under | No comments

Nardayana, Dalang Inovatif Cenk Blonk

Posted by Adnyana under Ajeg Bali

 Ia terlahir dari keluarga petani miskin dan tak punya leluhur berdarah seni mendalang wayang kulit. Namun, keuletan belajar dan kecintaan terhadap seni mengantarkannya menjadi dalang wayang kulit bali. Ia sukses dan populer sejak 15 tahun lalu dengan sebutan dalang inovatif Cenk Blonk. Dialah I Wayan Nardayana.
Pria ini dikenal karena pertunjukan wayang kulitnya memasukkan lelucon serta obrolan ceplas-ceplos segar dan aktual di sela pertunjukannya. Sejak tahun 2002, ia terus memodifikasi pentas wayang kulitnya dengan permainan lampu warna-warni serta berbagai suara untuk mendukung cerita.
Bahkan, ia membawa sekitar 50 kru dan satu generator listrik berkekuatan 7.000 watt setiap kali mentas. Layar yang dia gunakan tak biasa, 6 meter dan tinggi 1,5 meter.
Maka, meski pertunjukannya tidak semalam suntuk—hanya dua setengah jam— kemunculan wayang Cenk Blonk serasa angin segar di antara pementasan seni yang sepi ide. Penonton pun bisa membeludak.
Kemasan pencahayaan yang apik, disertai lelucon hingga obrolan ceplas-ceplos ala rakyat, menjadikan penonton berusia tua dan generasi muda tak beranjak selama pertunjukan. Nardayana menyisipkan lelucon segar dan kritik sosial melalui tokoh rakyat Nang Klenceng dan Nang Eblong. Kedua tokoh itu punya bentuk lucu, dari kepalanya yang botak dan berkucir, serta gigi tonggos. Kedua tokoh yang dia mainkan inilah yang membuat Nardayana dikenal sebagai dalang Cenk Blonk.
Awal pentas tahun 1992, Nardayana menggunakan nama kelompoknya, Gita Loka. Tiga tahun kemudian ia menggunakan nama Cenk Blonk hingga kini.
Tiyang (saya) tidak sengaja, sebelum mentas mendengar obrolan beberapa orang sambil menunggu pertunjukan mengatakan wayang Cenk Blonk mau mulai, ayo cepat cari tempat. Tiyang tertarik dan mengganti Gita Loka menjadi wayang Cenk Blonk,” kata Nardayana di rumahnya, Desa Belayu, sekitar 40 kilometer dari Denpasar.
Penggunaan huruf K menggantikan G pada Nang Klenceng (Cenk) dan Nang Eblong (Blonk), lanjut Nardayana, agar terkesan lebih gaul. Lagi-lagi ini juga menjadi bagian cara menarik penonton. Apalagi, saat itu ia belum berinovasi dengan tata pencahayaan warna-warni.
”Setiap hari, tiyang memperbarui bahan guyonan atau kritik sesuai tren berita-berita di media massa atau masyarakat sekitar Bali. Tiyang tetap perlu memerhatikan siapa saja penonton saat pertunjukan. Ya, biar nyambung dengan penontonnya dan mereka terhibur,” ujarnya.
Berawal dari kesedihan
Kepiawaian mendalang berawal dari kesedihan Nardayana terhadap sebagian masyarakat yang meninggalkan pertunjukan seni wayang kulit. Sekitar tahun 1989 dia bertekad mengembalikannya.
Saat itu, ia masih bekerja sebagai tukang parkir di salah satu pusat perbelanjaan. Sepulang bekerja, Nardayana mendapati pertunjukan wayang kulit yang sepi penonton. Ia langsung memilih meninggalkan pekerjaannya untuk belajar seni pedalangan.
Dia mencari tetangganya yang membuat wayang dan dalang. Tiga tahun kemudian, Nardayana pentas perdana di Pura Parungan, Tabanan. Ia dibayar sekitar Rp 250.000 untuk sekali pentas dengan layar 2 x 1 meter. Dia hanya mengajak beberapa orang penabuh gamelan.
Ketertarikan terhadap kesenian sebenarnya sudah ditunjukkan sejak di bangku SMA. ”Kala itu tiyang dibayar Rp 2.500 setiap pentas topeng untuk acara adat di sekitar rumah,” tuturnya.
Setelah pentas berkeliling dan terus berinovasi dengan tata lampu, ia lalu dibayar sekitar Rp 10 juta setiap kali pentas. Dia mampu manggung lebih dari tiga kali dalam sehari mengingat waktu pentas hanya dua setengah jam lamanya. Sebulan, ia mampu pentas di lebih dari 40 lokasi.
”Tetapi tiyang juga bisa tidak dibayar jika masyarakat yang meminta tak punya uang. Apalagi, mereka yang punya kaul,” ujarnya. Bagi Nardayana, inovasi pewayangan dengan tata cahaya berwarna tidak merusak tatanan yang ada. Bahkan, hal itu memperkaya seni wayang.
”Menurut tiyang, budaya bisa berubah setiap saat. Tetapi, ini tidak berlaku pada spiritualnya. Tiyang memang mengubah penampilan, tetapi tidak mengubah spiritualnya,” katanya.
Tak sedikit orang, termasuk kalangan seniman, sempat memusuhinya karena Nardayana dinilai merusak pakem pewayangan. Namun, ia tutup telinga dan terus berkarya. Bahkan, dia memperkaya ilmu otodidaknya dengan kembali ke bangku kuliah yang sempat ditinggalkannya karena tak ada biaya.
Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dipilihnya sebagai penguat dan pengayaan idenya. Sementara spiritualnya, dia gali dalam kuliah S-2 di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
”Saya ingin terus belajar dan berencana mengambil S-3,” ujar Nardayana.
Sayangnya, ketika Kompas berkunjung ke rumahnya di Belayu, Nardayana tidak mengizinkan mengambil gambar wayang Cenk dan Blonk miliknya, meski ia mengaku memiliki enam keropak atau kotak berisi tokoh wayang lengkap.
”Maaf, tiyang menghargai sekali wayang-wayang ini. Oleh karena itu, tiyang tidak bisa sembarangan mengeluarkannya jika tidak ada kepentingan langsung untuk pentas atau upacara.”
Namun, kata Nardayana membesarkan hati, jika ingin melihat pementasannya, di pasaran sudah beredar enam albumnya berupa VCD berbahasa Bali dan bahasa Indonesia.
”Wah, kalau tiyang tidak belajar bahasa selain bahasa Bali, wayang tidak akan bisa maju. Ini pertunjukan seni yang seharusnya bisa dinikmati siapa saja dan datang dari suku atau negara mana pun. Oleh karena itu, tiyang pun tak puas sampai di sini. Inovasi harus jalan terus dan berkembang. Jika tidak, tiyang dan wayang ditinggalkan masyarakat. Tiyang tidak mau itu terjadi,” Nardayana menegaskan.

Festival Budaya di Frankfurt, Jerman

Posted by Adnyana under Ajeg Bali

Gebogan Khas Karangasem Juara II Terbaik
FESTIVAL Budaya Franfurt Jerman yang diikuti Tim Seni Budaya Indonesia dari Perwakilan KJRI-Franfurt Jerman bekerja sama dengan Persatuan Masyarakat Indonesia di Franfurt (Permif), menampilkan pawai Gebogan khas Karangasem serta iringan kesenian angklung serta Barong Bali dan tari Payung Sumatera Barat, akhirnya dinobatkan sebagai juara II terbaik peserta Parade Budaya tahun ini.
Dari informasi KJRI Mira Rchyadi, penampilan Tim Kesenian Indonesia mampu menarik simpati puluhan ribu penonton di sepanjang jalan protokol Franfurt, sehingga dewan juri menobatkan sebagai Penampilan Terbaik kategori dewasa dan kreativitas setelah tim seni budaya Spanyol juara I penampilan terbaik.
Penampilan Indonesia sebagai ajang promosi kebudayaan Indonesia di Jerman diikuti lebih dari 1.500 peserta dari 58 organisasi. Di samping itu, Parade Budaya untuk mempresentasikan keanekaragaman budaya masyarakat Franfurt sebagai kota metropolitan pusat pertahanan dan perbankan di Jerman.
Bupati Karangasem I Wayan Geredeg, S.H. mengapresiasi potensi budaya Karangasem yang dilibatkan pada event Budaya Franfurt Jerman tahun 2010. Gebogan khas Karangasem yang terdiri atas susunan buah dan sampyan gebogan, yang bahannya didatangkan dari Karangasem berikut pakaian khas adat Bali difasilitasi Bupati I Wayan Geredeg, memiliki daya tarik tersendiri. Dibawa secara dijinjing oleh para perempuan secara berderet dalam pawai maka nampak estetika dan nuansa eksotiknya sebagai salah satu budaya unik yang mampu memesona publik dan tim juri Parade Budaya di Franfurt Jerman.
Dengan keberhasilan tersebut, mencerminkan bahwa penghargaan dan apresiasi masyarakat luar negeri terhadap khazanah budaya Bali khususnya khas Karangasem demikian tinggi. Festival tersebut cukup bergengsi dan menjadi media promosi yang efektif dari segi kepariwisataan. Diharapkan dengan keberhasilan tersebut, dapat memberi dampak peningkatan kunjungan wisatawan Jerman ke Bali khususnya ke Karangasem.



sumber foto: Izhar Gouzhary

Peluang Pengembangan Pariwisata Kerakyatan di Klungkung

Posted by Adnyana under Ajeg Bali

Membaca Peluang Pengembangan Pariwisata Kerakyatan
Jika dicermati lebih jauh, motivasi wisatawan asing datang ke Bali ternyata tidak melulu datang untuk mengejar kemewahan seperti yang biasa mereka nikmati di tempat asalnya. Mereka umumnya ingin mendapatkan pengalaman berbeda dari kegiatan rutin sehari-hari, dan kondisi ini belum sepenuhnya ditangkap kalangan pelaku pariwisata Bali.
Oleh I Made Sarjana
Pandangan pengelola kepariwisataan Bali bahwa wisatawan yang berkunjung ke daerah ini mesti disambut dengan penyediaan akomodasi berupa hotel besar nan megah lengkap dengan standar kualitas layanan mewah, tampaknya harus segera ditinjau ulang. Vacantiebeurs atau pekan promosi pariwisata dunia yang berlangsung di Kota Utrecht, Belanda, 12 -17 Januari 2010 menyodorkan fakta berbeda soal motivasi wisatawan dunia bertandang ke Bali. Wisatawan ingin datang berinteraksi dengan masyarakat lokal alias bukan kemewahan yang dikejar, tetapi keunikan Bali. Peluang pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan pun terbaca dalam ajang tersebut.
—————–
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menyebut keterlibatan Indonesia pada ajang ini dengan target menggaet kunjungan satu juta wisatawan Eropa ke Indonesia, dan 200 ribu orang di antaranya asal Belanda. Indonesia pun mengusung tema ”Moluccas Culture” atau serba Maluku untuk menarik perhatian orang Belanda yang dikenal lebih familiar dengan khazanah budaya Maluku, mengingat warga Indonesia yang menetap di Belanda terbanyak asal Maluku. Kendati demikian, Bali tetaplah magnet utama bagi wisatawan Eropa untuk berkunjung ke Indonesia. Terbukti, pengunjung stan Indonesia umumnya sangat antusias bertanya tentang Bali, bahkan di beberapa biro perjalanan dan maskapai penerbangan Eropa yang menawarkan paket wisata ke kawasan Asia Tenggara memajang ikon budaya atau memutar film pendek tentang Bali.
Pengelolaan kepariwisataan Bali saat ini memang berkiblat pada manajemen pariwisata yang dikembangkan di Spanyol seperti di Kota Barcelona di mana aktivitas pariwisata identik dengan pembangunan hotel mewah bintang lima. Kawasan Nusa Dua pun disulap sebagai kawasan hotel elite. Pemilihan model pengembangan pariwisata ini tentu berdampak kurang menguntungkan bagi masyarakat Bali yakni keberhasilan pembangunan pariwisata juga diikuti economic leakage yang sangat tinggi.
Economic leakage atau pendapatan dari aktivitas kepariwisataan yang tidak bisa dinikmati masyarakat lokal karena pendapatan itu disetorkan ke daerah lain atau ke luar negeri. Kondisi ini terjadi karena pembangunan hotel mewah cenderung menggunakan modal luar negeri, hotel berbintang umumnya memiliki jaringan internasional. Kondisi ini memicu banyaknya impor bahan makanan, mebel, juga pekerja asing bekerja untuk menjamin hotel mampu memberikan layanan kenyamanan dan kemewahan sesuai standar yang berlaku di negara asal wisatawan.
Menguapnya pendapatan pariwisata juga dapat terjadi dengan adanya maskapai penerbangan asing yang beroperasi untuk keperluan wisata tersebut (Andrew Holden, 2008). Kasus Bali, tentu economic leakage terjadi dan menguntungkan pemodal Jakarta dan luar negeri.
Jika dicermati lebih jauh, motivasi wisatawan asing datang ke Bali ternyata tidak melulu datang untuk mengejar kemewahan seperti yang biasa mereka nikmati di tempat asalnya. Mereka umumnya ingin mendapatkan pengalaman berbeda dari kegiatan rutin sehari-hari, dan kondisi ini belum sepenuhnya ditangkap kalangan pelaku pariwisata Bali. Faktanya, pada Juli tahun 2007 saat penelitian tentang subak selama tujuh hari di Desa Jatiluih, Tabanan penulis bertemu satu rombongan wisatawan Prancis yang melakukan petualangan selama 14 hari di Bali ternyata dipandu orang yang memiliki kewarganegaraan sama. Karenanya, pengakuan calon wisatawan bahwa dia ingin ke Bali untuk menikmati alam dan kebudayaan Bali bukan kemewahan kamar hotel dapat dijadikan pemantik semangat bagi pelaku dan pemegang kebijakan kepariwisataan Bali untuk membangun pariwisata yang berbasis kerakyatan yakni pariwisata pedesaan (rural tourism) dan pariwisata pertanian (agrotourism).

Aliza Fleischer (2002) memaparkan pariwisata pedesaan dan pertanian memiliki ciri sama yakni memanfaatkan situasi alam pedesaan, termasuk aktivitas pertanian sebagai atraksi wisata. Baik pariwisata pedesaan maupun pertanian juga membuka kesempatan yang lebih luas bagi rakyat kecil (petani) untuk terlibat langsung dalam aktivitas pariwisata. Pengembangan pariwisata pedesaan dan pertanian di beberapa negara Eropa seperti Inggris dan Jerman, menunjukkan petani setempat mampu meningkatkan pendapatan keluarga karena pariwisata menjadi sumber pendapatan alternatif.
Isu Lingkungan
Isu lingkungan bahwa saatnya semua umat manusia menyelamatkan bumi dari pemanasan global juga menjadi faktor pendorong pengembangan pariwisata pedesaan dan pertanian. Banyak calon wisatawan melakukan kunjungan ke daerah tujuan wisata selain untuk melepas kepenatan dari pekerjaan rutin, juga berharap bisa berpartisipasi nyata dalam upaya pengurangan emisi gas CO2. Jadi pengalaman berwisata seperti terlibat langsung mengerjakan pekerjaan petani khususnya menanam pohon akan makin diminati.
Bercermin pada tingginya minat wisatawan menjelajahi wilayah Bali, seperti rombongan wisatawan dari Prancis yang penulis temui di Jatiluih. Rombongan wisata itu mengaku membeli paket perjalanan wisata selama 14 hari keliling beberapa titik di wilayah Bali. Hari pertama, rombongan itu datang di kawasan Ubud beristirahat semalam, keesokan harinya dari pagi sampai siang jalan-jalan di kawasan Ubud, sorenya diantar dengan bus ke Jatiluih. Mereka menikmati indahnya suasana alam pedesaan pada malam dan siang hari, karena paginya wisatawan bisa memilih paket jalan-jalan di pematang sawah atau melakukan petualangan alam yang lebih berat yakni jalan kaki melintasi hutan kaki Bukit Batukaru, menuju Desa Wangaya Gede.
Paket wisata ini seterusnya ke arah barat menuju kawasan Lovina, Buleleng, dan balik ke timur singgah di Dusun Mungsengan Catur (Kintamani), selanjutnya ke timur Batur, Besakih, Candidasa. Paket perjalanan wisata semacam itu dapat dipadukan dengan kegiatan menanam pohon akan menjadi dayak tarik tersendiri bagi wisatawan. Paket wisata semacam ini perlu diciptakan lebih banyak karena memiliki fungsi ganda di samping sebagai upaya pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan, juga sebagai upaya diversifikasi paket wisata di Bali melengkapi paket wisata tradisional yang sudah mapan.
Tantangan menciptakan paket wisata semacam ini tentu bukan di permodalan atau kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai, tetapi adakah pelaku wisata lokal yang mau menjadi perintis. Pelaku pariwisata Bali umumnya lebih suka bekerja pada pihak lain dan hampir tidak ada yang tergerak untuk merintis hal-hal baru. Pariwisata yang pada intinya memodifikasi ruang dan waktu untuk ditawarkan sebagai paket wisata memang membutuhkan kerja keras dan kreativitas. Di samping itu dukungan pemerintah juga sangat dibutuhkan untuk pengembangan pariwisata kerakyatan.

Penulis, dosen Fakultas Pertanian Unud, kini mahasiswa M.Sc. Program Leisure, Tourism, and Environment Wageningen University dan Research (WUR) Belanda
* Isu lingkungan bahwa saatnya semua umat manusia menyelamatkan bumi dari pemanasan global juga menjadi faktor pendorong pengembangan pariwisata pedesaan dan pertanian.
* Paket perjalanan wisata dapat dipadukan dengan kegiatan menanam pohon akan menjadi dayak tarik tersendiri bagi wisatawan.
* Paket wisata semacam ini perlu diciptakan lebih banyak karena memiliki fungsi ganda di samping sebagai upaya pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan, juga sebagai upaya diversifikasi paket wisata di Bali melengkapi paket wisata tradisional yang sudah mapan.

0 komentar:

Posting Komentar